Senin, 09 Maret 2009

Keutamaan Menahan Marah

Keutamaan Menahan Marah
Oleh Ust.Abdurrohim
Diantara maksud dan tujuan disyariatkannya puasa adalah latihan menahan nafsu amarah (suka marah). Orang yang mampu menahan marah lebih baik dan lebih sempurna daripada orang yang suka marah (pemarah). Dan itulah yang disebut orang kuat. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain, disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda : “Siapa yang dikatakan paling kuat diantara kalian ? Shahabat menjawab : yaitu diantara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda : Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim) Al Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i , bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan) Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hadits shahih riwayat Ahmad) Al Imam Abu Dawud rahimahullah mengeluarkan hadits secara makna dari shahabat Nabi, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan) Hadits-hadits ini menerangkan keutamaan menahan marah dari pada orang yang mudah marah/pemarah. Dari itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiat kepada sahabat ketika datang pada beliau untuk meminta wasiat, beliau bersabda dengan diulang-ulang : “Jangan mudah marah..” Lengkap haditsnya adalah sebagai berikut : “Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam : berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : jangan menjadi seorang pemarah. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda : janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Bukhari) Al Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadits dari seseorang dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wasallam dia berkata : “ Aku berkata : Ya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : jangan menjadi pemarah. Maka berkata seseorang : maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan.” (HR. Imam Ahmad) Berkata Ibnu Ja’far bin Muhammad rahimahullah : “Marah itu pintu seluruh kejelekan.” Al Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : akhlak yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah. Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan : sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam : “Jangan menjadi pemarah.” Ini mengandung dua kemungkinan maksud : 1.Hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah. 2.Hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah. Sehingga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya, diantaranya adalah: 1. Membaca ta’awudz ketika marah. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod Radliyallahu ‘anhu : “Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan : ‘Audzubillahi minasy Syaithani rrajiim. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi : Tidakkah kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab : Aku ini bukan orang gila.” 2. Dengan duduk Apabila dengan ta’awudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri. Al Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.” Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri. 3. Tidak bicara Diam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam hadits disebutkan :“Apabila diantara kalian marah maka diamlah.” Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad) 4. Berwudlu Sesungguhnya marah itu dari setan. Dan setan itu diciptakan dari api maka api itu bisa diredam dengan air, demikian juga sifat marah bias diredam dengan berwudlu. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila diantara kalian marah berwudlulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad hasan) Adapun pemicu kemarahan ada empat, barangsiapa yang mampu mengendalikan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dijaga dari syetan dan diselamatkan dari neraka. Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah : “Empat hal, barangsiapa yang mampu mengedalikannya maka Allah akan menjaga dari syetan dan diharomkan dari neraka : yaitu seseorang mampu menguasai nafsunya ketika berkeinginan, cemas, syahwat dan marah.” Empat hal ini yaitu keinginan, cemas, syahwat dan marah merupakan pemicu seluruh kejelekan dan kejahatan bagi orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya. 1. Keinginan, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini mendatangkan manfaat pada dirinya, seringnya orang yang tidak mampu menguasai nafsu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan keinginannya itu dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom, dan terkadang yang diinginkan juga berupa sesuatu yang haram. 2. Cemas, adalah rasa takut dari sesuatu. Orang yang cemas akan berupaya untuk menolaknya dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom seperti meminta perlindungan kepada selain Allah. 3. Syahwat, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini dapat memuaskan nafsunya. Seringnya orang yang kalah dengan nafsunya memuaskan nafsu syahwatnya itu pada sesuatu yang haram seperti zina, mencuri, minum khamer bahkan pada sesuatu yang menyebabkan kekufuran, kebid’ahan dan kemunafikan. 4. Marah, adalah gelagaknya darah hati untuk menolak gangguan sebelum terjadi atau untuk membalas gangguan yang sudah terjadi. Kemarahan seringnya dilakukan dalam bentuk perbuatan yang diharamkan seperti pembunuhan, pemukulan dan berbagai kejahatan yang melampaui batas. Terkadang dalam bentuk perkataan yang diharamkan seperti tuduhan palsu, mencela dan perkataan keji lainnya dan terkadang meningkat sampai pada perkataan kufur. Tetapi tidak semua kemarahan itu tercela, ada yang terpuji , bahkan sampai pada tingkatan harus marah yaitu ketika kita melihat agama Allah direndahkan dan dihinakan, maka kita harus marah karena Allah terhadap pelakunya. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Nabi Shalallahu alaihi wasallam melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Bukhari Muslim) Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga marah terhadap seorang sahabat yang menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah marah karena pribadinya. Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas radhiyallahu anhu : “Anas membantu rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas : “ah”, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas : “mengapa kamu berbuat ini.” Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.” (HR. Bukhari dan Muslim) Begitulah keadaan beliau senantiasa berada diatas kebenaran baik ketika marah maupun ketika dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita selalu diatas kebenaran ketika ridha dan ketika marah. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : artinya : “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (Hadits shahih riwayat Nasa’i) Al Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas : “Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu : orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya.” Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran. Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka katakanlah : sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih) Wallahu a’lam bishawab. (Dikutip dari artikel Keutamaan Menahan Marah, ditulis oleh ustadz Abdurrahim, Malang. Dikirim via Email oleh Akhi Khudori, Malang dan edit oleh redaksi. Sumber www.darussalaf.or.id)
July 13, 2008

Air mata Rosululloh saw

OASE IMAN
1. Air Mata Rasulullah SAW
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum –peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” - “Umatku, umatku, umatku”
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim ‘alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Kumpulan Mutiara Hikmah Part . I

Rubrik Mutiara Hikmah
Sumber : Bunga Rampai (pesantrenonline.com )
1. Bangga Berbuat Dosa

Seorang zahid berkata :
“Orang yang merasa bangga berbuat maksiat, hakikatnya telah melakukan dua dosa sekaligus yaitu, dosa kemaksiatan itu sendiri dan sikap membanggakan kemaksiatannya. Ia akan dilemparkan ke neraka Jahanam dengan penuh kutukan. Sebaliknya, orang yang merintih penuh tangis dalam melakukan ketaatan, berarti telah berbuat dua kebaikan sekaligus; yaitu, kebajikan berupa taat dan kebajikan berupa penyesalan terhadap dosa yang telah ia lakukan. Allah akan memasukkannya ke surga dengan penuh kebahagiaan.”
2. Bisikan, Pikiran, Nafsu Birahi, Kehendak, Maksiat dan Kebiasaan
Ulama besar, Ibnul Qayyim berkata :
“Pertahankanlah bisikan yang berdetak agar tetap di hatimu, kalau tidak hal itu akan berubah menjadi buah pikiran. Bila telah berubah, pertahankanlah semampumu agar ia tetap berada dalam pikiranmu. Dan kalau tidak mampu, ia akan menjadi nafsu birahi.
Kendalikan nafsu agar ia tertundukkan, dan jika tidak akan lahir rencana buruk dalam bentuk kehendak. Jagalah kehendak itu, karena kalau tidak dijaga niscaya akan menjadi perbuatan maksiat.
Kalau perbuatan maksiat tidak bisa dicegah, ia akan menjadi temanmu sebagai suatu kebiasaan dan adalah sulit bagi manusia meninggalkan suatu kebiasaan.”
3. Sikap yang harus dijalani diantara dosa dan pahala

Seusai shalat subuh, seorang sufi berjalan-jalan menghirup udara segar. Ia merenung:
“Setiap saat hingga pagi ini, saya selalu mendapat limpahan rahmat karunia Allah SWT, yang tak terhingga. Padahal bersamaan dengan itu, saya tenggelam dalam lumpur kemaksiatan, berbuat dosa kepada Allah SWT. Saya tak tahu, manakah diantara kedua hal itu yang patut saya syukuri: nikmat yang terus saya terima tanpa henti, atau dosa kemaksiatan saya yang ditutupi oleh Allah SWT sehingga saya selalu tampak suci di depan sesama manusia?”
4. Dosa menurut mukmin dan munafiqin
Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan Iman Bukhari:
“Seorang yang beriman memandang dosanya ibarat melihat gunung di atas kepalanya. Ia takut sekali, kalau-kalau gunung itu menimpa dirinya. Sedangkan orang munafik memandang dosa itu ibarat lalat terbang di depan hidungnya. Ia membiarkan saja lalat tersebut terus terbang.”
5. Sembilan Keluarga Setan
Umar bin Khattab RA. mengatakan bahwa keluarga setan itu ada sembilan
“Mereka adalah Zalitun, penunggu pasar; Wasinun, penguasa dunia malapetaka dan bencana;A’was, yang suka memperalat para penguasa; Hilaf, pengurus minum-minuman keras; Murrah, berkecimpung di dunia tabuh-tabuhan; Laqus, berada di sekitar penyembah api; Mussawit, penyebar berita bohong; Dasim, penunggu rumah yang suka menghasut dan membakar pertengkaran diantara penghuni rumah yang jika masuk ke dalam rumahnya tanpa menyebut nama Allah; dan Walhan, penggoda orang yang wudhu, shalat dan yang melakukan ibadah lainnya sehingga tidak khusyuk.
6. Akibat Riya
Oleh : Firdaus MA
Riya adalah melakukan amal bukan karena mengharap ridha Allah, tapi mencari pujian dan kemasyhuran di mata manusia. Riya merupakan bentuk syirik kecil kepada Allah yang dapat merusak dan membuat ibadah serta kebaikan yang dilakukan tidak bernilai di hadapan Allah.
Sikap ini muncul karena orang kurang memahami dengan baik tujuan ibadah dan amal yang dilakukan. Dalam Islam, setiap ibadah, amal, dan aktivitas lainnya harus dilakukan demi mencari ridha Allah SWT. Firman-Nya,
”Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’.” (QS 6: 162).
Riya yang ditampilkan orang dalam perilaku sehari-hari berkorelasi erat dengan sifat angkuh yang dimilikinya. Riya berawal dari keinginan untuk menunjukkan bahwa ia yang paling hebat, baik, taat, dan dermawan yang merupakan bagian dari sifat angkuh. Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS 8: 47).
Riya muncul akibat kurang iman kepada Allah dan hari akhirat serta ekspresi ketidakjujuran atau kedustaan menjalankan agama. Dalam melakukan ibadah dan kebaikan orang yang riya berorientasi jangka pendek: mendapat pujian manusia. Ia melakukan ibadah karena ingin dipandang sebagai orang taat dan saleh. Apabila memberi sedekah dan bantuan kepada sesama, ia ingin disebut sebagai dermawan dan memiliki kepekaan sosial. Allah menjelaskan, ”Dan orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian, barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS 4: 38).
Sikap riya sangat merugikan karena kebaikan dan ketaatan yang dilakukan tidak bernilai di sisi Allah. Allah berfirman, ”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” (QS 2: 264).
Orang-orang seperti itu di akhirat kelak dicap Allah sebagai pendusta. Rasulullah SAW bersabda, ”Ada yang mengaku berjuang di jalan Allah hingga mati syaid, padahal ia berperang hanya ingin dikenal sebagai pemberani. Ada yang mengaku mempelajari ilmu pengetahuan, mengajarkan, dan membaca Alquran karena Allah, padahal ia hanya ingin dikenal sebagai orang alim dan qari’. Ada yang mengaku mendermakan harta untuk mencari ridha Allah, padahal ia hanya ingin disebut dermawan. Amalan semua orang itu ditolak Allah dan mereka dimasukkan ke dalam neraka.” (HR Muslim). Wallahu a’lam.
7. Bermuka Dua
Oleh : Fajar Kurnianto
Salah satu sifat buruk yang dibenci Allah SWT adalah munafik. Sabda Rasulullah SAW, ”Kalian pasti akan bertemu dengan orang-orang yang paling Allah benci, yaitu mereka yang bermuka dua. Di satu kesempatan, mereka memperlihatkan satu sisi muka, namun di kala yang lain, mereka memperlihatkan muka yang lain pula.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam hadis lain, riwayat Imam Abu Dawud dan Muslim, lebih jelas lagi Rasulullah SAW menyatakan, ”Seburuk-buruk manusia adalah yang bermuka dua. Datang di satu kesempatan dengan satu muka, dan pada lain kesempatan datang dengan muka yang lain.”
Dua hadis di atas menyampaikan beberapa pesan penting kepada kita. Pertama, kita dilarang menjadi pribadi-pribadi munafik (hipokrit). Pribadi-pribadi yang memperlihatkan satu muka di satu kesempatan dan muka yang lain di kesempatan yang berbeda. Artinya, kita dituntut untuk konsisten dalam kebenaran yang sudah diyakini, dengan kesesuaian antara iman dan amal, antara praktik dan perkataan.
Allah SWT berfirman, ”Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa mereka beriman, namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka mencoba menipu Allah dan orang-orang beriman, tapi sayang, sebetulnya mereka telah menipu diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 8-9).
Orang munafik pada tataran ini memperlihatkan sikap dan sifat yang mendua. Dalam ayat yang lain, Allah SWT membeberkan lagi apa-apa yang telah mereka perbuat, ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142).
Pesan kedua yang dapat diambil dari hadis tadi, kita harus teguh dalam berpendirian, dan konsisten dengan kebenaran yang telah diyakini, tanpa dapat tergoyahkan. Ketika seseorang sudah menyatakan beriman, maka iman itu harus terpraktikkan nyata dalam kehidupan. Iman harus mewarnai segala tindak-tanduk amaliah sehari-harinya.
Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (Fushshilat: 30).
Pribadi Muslim seharusnya selalu menggambarkan kesatuan wajah hanya untuk dan karena Allah SWT semata, bukan yang lain. ”Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar.” (Al-An’am: 79).
Allah SWT sangat membenci orang munafik, karena mereka memperlihatkan sifat dan sikap mendua, antara iman dan tidak. Maka, sudah sewajibnya, seorang beriman dapat menyatukan juga antara iman dan amal, tidak bertolak belakang, apalagi berlawanan arah. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang bermuka dua. Wallahu a’lam.
8. Delapan Hiasan Indah

Sayidina Abu Bakar as-Siddiq mengemukakan, ada 7 perhiasan indah bagi 7 hal lainnya:
1. pantang meminta-minta merupakan hiasan si miskin;
2. bersyukur merupakan hiasan bagi anugerah;
3. sabar hiasan bagi musibah;
4. santun hiasan bagi ilmu;
5. banyak menangis hiasan bagi orang bertaubat;
6. menyembunyikan kebaikan hiasan bagi kebajikan;
7. dan khusyuk hiasan bagi orang shalat.
9. Do’a yang Bermanfaat
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehinaan, kemelaratan dan dari kesombongan kekayaan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perolehan ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu, dari nafsu yang tidak pernah kenyang (puas) dan dari doa yang tidak didengarkan.”

Mengapa Qolbu Mengeras ?

Qalbu Mengeras Karena Jauh Dari Allah
Oleh Imam Ibnul Qoyyim

“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS.Az-Zumar: 22) Tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. An-Naar (neraka) adalah diciptakan untuk melunakkan qalbu yang keras. Qalbu yang paling jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Sebagaimana jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula qalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan mempan padanya nasehat. Barangsiapa hendak mensucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah dibanding keinginan dan nafsu jiwanya. Karena qalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sekadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya. Banyak orang menyibukkan qalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat tentu qalbunya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamullah dan ayat-ayat-Nya yang nampak ini, dan ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah. Jika qalbu disuapi dengan berdzikir dan disirami dengan berfikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah. Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan qalbu dan mematikan hawa nafsunya. Adapun mereka yang membunuh qalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, maka tak akan muncul hikmah dari lisannya. Rapuhnya qalbu adalah karena lalai dan merasa aman, sedang makmurnya qalbu karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dzikir. Maka jika sebuah qalbu merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia akan terlewatkan dari hidangan akhirat. Kerinduan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala adalah angin semilir yang menerpa qalbu, membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapapun yang menempatkan qalbunya disisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tentram. Dan siapapun yang melepaskan qalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana. Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah akan masuk ke dalam qalbu yang mencintai dunia kecuali seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil). Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya, dan Ia akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Lisannya senantiasa basah dengan berdzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya. Qalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani, dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Qalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berdzikir. Qalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah taqwa. Qalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakkal, bertaubat dan berkhidmat untuk-Nya. (diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al Fawaid karya Ibnul Qayyim rahimahullah hal 111-112) NODA NODA DOSA Perbuatan dosa dan maksiat pasti mendatangkan mudharat (kerugian/kejelekan) meskipun antara satu dosa dengan yang lain berbeda-beda tingkat mudharatnya. Tidaklah ada kejelekan di dunia dan akhirat kecuali pasti disebabkan dosa dan maksiat. Apa yang menyebabkan diusirnya Iblis dari surga dan diputuskan untuk menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya? Apa yang menyebabkan tenggelamnya manusia di masa Nabi Nuh? Apa yang menyebabkan terhempasnya kaum ‘Aad oleh angin yang begitu dahsyat? Apa yang menyebabkan kaum Nabi Luth dibalik bersama buminya sehingga yang bawah menjadi di atas dan yang atas menjadi di bawah? Apa yang menyebabkan Fir’aun bersama bala tentaranya tenggelam di tengah lautan? Apa yang menyebabkan Qarun tengelam ke dalam bumi bersama harta kekayaannya? Apa yang menjadikan sekelompok orang Yahudi diubah bentuknya menjadi babi dan kera? Apa yang menyebabkan semua itu kalau bukan dosa dan maksiat? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan lautan dengan sebab apa yang dilakukan oleh tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar." (QS.Ar-Rum: 41) Abdullah bin Umar bin Khatthab mengatakan: “Aku adalah yang kesepuluh dari sepuluh orang muhajirin yang berada di sisi Nabi maka beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian mengatakan: ‘Wahai muhajirin ada lima perkara, saya berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk kalian dapati lima perkara itu: Tidaklah muncul kekejian pada sebuah kaum dan mereka menampakkannya kecuali mereka akan diberi cobaan dengan wabah pes dan penyakit-penyakit yang tidak pernah ada pada orang-orang yang hidup mendahului mereka. Tidaklah sebuah kaum mengurangi timbangan dan ukuran kecuali mereka akan dicoba dengan kemarau panjang, krisis bahan makanan dan kedzaliman serta kecurangan penguasa. Tidaklah sebuah kaum menahan dari pembayaran zakat dari harta mereka kecuali mereka akan dihalangi dari setetes air dari langit, kalaulah bukan karena binatang-binatang niscaya tidak akan diberi hujan. Tidaklah sebuah kaum menyelisihi janji kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka musuh dari selain mereka sehingga musuh-musuh itu akan mengambil sebagian yang dimiliki oleh kaum itu. Dan tidaklah pimpinan-pimpinan mereka tidak mengamalkan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya kecuali Allah akan menjadikan pertikaian di antara mereka sendiri. [Shahih, HR Ibnu Majah no:4019 dishahihkan oleh As Syaikh al Albani, lihat Sisilah As-Shahihah no.106-107] Demikianlah maksiat akan menimbulkan sekian banyak kejelekan sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim: 1. Bahwasanya maksiat akan menghalangi ilmu. Karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang Allah berikan kepada seorang hamba dan maksiat akan memadamkannya. 2. Maksiat menyebabkan terhambatnya rizqi, sebagaimana takwa itu akan menyebabkan datangnya rizqi maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran. 3. Maksiat menyebabkan hati gelisah dalam berhubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada padanya kenikmatan sama sekali. Ini tidak disadari kecuali oleh pemilik hati yang hidup. Adapun hati yang mati tidak bisa menyadarinya. Bagai mayat yang tak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenainya. 4. Maksiat menyebabkan ketidakharmonisan hubungan hamba dengan sesamanya. Lebih-lebih orang-orang yang baik, sampai sebagian pendahulu kita mengatakan: “Sungguh aku berbuat maksiat kepada Allah dan aku melihat pengaruhnya pada binatang kendaraanku dan istriku.” 5. Menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga ia tidak menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu. 6. Maksiat menyebabkan terhambatnya ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 7. Maksiat menyebabkan lemah qalbu dan jasmaninya, karena kekuatan jasmani itu berasal dari batin maka tatkala batinnya lemah lahiriah nyapun lemah. 8. Menghilangkan keberkahan umur. 9. Maksiat menyebabkan kegelapan dalam hati seperti halnya ia merasakan kegelapan malam yang pekat. (Diambil dari kitab Ad-Da’u wad Dawa’u karya Ibnu Qoyyim al Jauziyyah oleh Al Ustadz Qomar Suaidi. Sumber www.asysyariah.com)

7 Wasiat Rosululloh saw

Rasulullah saw berwasiat, cintailah fakir-miskin, berbanyak silaturrahmi, jangan suka meminta-minta dan jangan takut celaan dalam berdakwah
“Dari Abu Dzar ia berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia” (Riwayat Ahmad).
Meski wasiat ini disampaikan kepada Abu Dzar RA, namun hakikatnya untuk kaum Muslimin secara umum. Sebagaimana kaidah: (Al-Khitobu li’umuumil-lafdzi, walaisa min khususil asbab).
Wasiat pertama, mencintai orang miskin.
Islam menganjurkan umatnya agar berlaku tawadhu’ (berendah hati) terhadap orang-orang miskin, menolong dan membantu kesulitan mereka. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat di antaranya Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu (RA) yang terkenal sangat merakyat, Khalifah Abu Bakar yang terkenal dengan sedekah “pikulan”nya, Utsman bin Affan dengan kedermawanannya.
Cintailah dan kasihanilah orang-orang miskin, sebab hidup mereka tidak cukup, diabaikan masyarakat dan tidak diperhatikan. Orang yang mencintai fuqara’ dan masakin dari kaum Muslimin, terutama mereka yang mendirikan shalat, dan taat kepada Allah, maka mereka akan dibela Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) di dunia dan pada hari kiamat.
Sebagaimana sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat” (Riwayat Muslim).
Juga sabda beliau, “Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang jihad fi sabilillah…..” (Riwayat Bukhari). Dalam riwayat lain seperti mendapatkan pahala shalat dan puasa secara terus menerus….
Wasiat kedua, melihat orang yang lebih rendah kedudukannya dalam hal materi dunia.
Rasulullah memerintahkan agar kita melihat orang-orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia dan mata pencaharian. Tujuannya, tiada lain agar kita selalu bersyukur dengan nikmat Allah yang ada. Selalu qona’ah (merasa cukup dengan apa yang Allah karuniakan kepada kita), tidak serakah, tidak pula iri dengki dengan kenikmatan orang lain.
Memang rata-rata penyakit manusia selalu melihat ke atas dalam hal harta, kedudukan, dan jabatan. Selama manusia hidup ia selalu merasa kurang dan kurang. Baru merasa cukup manakala mulutnya tersumpal tanah kuburan.
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat orang yang ada di atasmu, karena hal demikian lebih patut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.” (Riwaat Muttafaqun ‘alaihi).
Sebaliknya dalam masalah agama, ibadah dan ketakwaan, seharusnya kita melihat orang-orang yang di atas kita, yaitu para Nabi, sahabat, orang-orang yang jujur, para syuhada’, para ulama’ dan salafus-shalih.
Wasiat ketiga, menyambung silaturahim kepada kaum kerabat
Silaturahim adalah ungkapan mengenai berbuat baik kepada karib kerabat karena hubungan nasab (keturunan) atau karena perkawinan. Yaitu silaturahim kepada orang tua, kakak, adik, paman, keponakan yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Berbuat baik dan lemah lembut kepada mereka, menyayangi, memperhatikan dan membantu mereka.
Dengan silaturahim, Allah memberikan banyak manfaat. Di antaranya, menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dengannya akan menumbuhkan sikap saling membantu dan mengetahui keadaan masing-masing. Silaturahmi pula akan memberikan kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Sebaliknya bagi yang mengabaikan silaturahim Allah sempitkan hartanya dan tidak memberikan berkah pada umurnya, bahkan Allah tidak memasukkannya ke dalam surga.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi” (Riwayat Bukhari).
Wasiyat keempat, memperbanyak ucapan ‘La haula walaa quwwata illa bilLah’
Rasulullah memerintahkan memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa bilLah’ agar kita berlepas diri dari merasa tidak mampu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Makna kalimat ini juga sebagai sikap tawakkal, hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya pula kita memohon pertolongan.
Pada hakekatnya seorang hamba tidak memiliki daya-upaya apapun kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak bisa duduk di majelis ilmu melainkan dengan pertolongan Allah. Demikian juga seorang guru tidak mungkin bisa mengajarkan ilmu yang manfaat kepada muridnya melainkan dengan pertolongan Allah.
Nabi bersabda :
“Ya Abdullah bin Qois, maukah aku tunjukkan kepadamu atas perbendaharaan dari perbendaharaan surga? (yaitu) ‘La haula walaa quwwata illa billah’ (Riwayat Muttafaqun ‘Alaih).
Wasiyat kelima, berani mengatakan kebenaran meskipun pahit
Kebanyakan orang hanya asal bapak senang (ABS), menjilat agar mendapat simpati dengan mengorbankan kebenaran dan kejujuran. Getirnya kebenaran tidak boleh mencegah kita untuk tidak mengucapkannya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Apabila sesuatu itu sudah jelas sebagai sesuatu yang haram, bid’ah, munkar, batil, dan syirik, maka jangan sampai kita takut menerangkannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat kebenaran (haq) kepada penguasa yang zalim. Bukan dengan cara menghujat aib mereka di mimbar-mimbar, tidak dengan aksi orasi, demonstrasi, dan provokasi.
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, janganlah ia tampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasehat itu, maka itu yang terbaik. Dan apabila penguasa itu enggan, maka ia sungguh telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” (Riwayat Ahmad)
Wasiyat keenam, tidak takut celaan dalam berdakwah.
Betapa berat resiko dakwah yang Rasulullah dan sahabat alami. Mereka harus menderita karena mendapat celaan, ejekan, fitnah, boikot. Juga pengejaran, lemparan kotoran, dimusuhi, diteror, dan dibunuh.
Manusia yang sakit hatinya kadang-kadang tidak mau menerima dengan penjelasan dakwah, maka para pendakwah harus sabar menyampaikan dengan ilmu dan hikmah. Jika dai mendapat penolakan dan cercaan jangan sampai mundur. Maka para penyeru tauhid, penyeru kebenaran jangan berhenti hanya dengan di cerca.
“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut dengan siapapun selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan” (Al-Ahzab [33]: 39).
Wasiat ketujuh, tidak suka meminta-minta sesuatu kepada orang lain.
Orang yang dicintai Allah, Rasul dan manusia, adalah mereka yang tidak meminta-minta. Seorang Muslim harus berusaha makan dari hasil jerih payah tangannya sendiri. Seorang Muslim harus berusaha memenuhi hajat hidupnya sendiri dan tidak boleh selalu mengharapkan belas kasihan orang.
“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil tali, lalu membawa seikat kayu bakar di punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia. Mereka bisa memberi atau tidak memberi” (Riwayat Bukhori).
Demikianlah 7 wasiat Rasulullah SAW. Semoga kita bisa menunaikannya. [Abu Hasan-Husain/diambil dari Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Sabtu, 21 Februari 2009

Hukum Mendatangi Dukun



Inilah gambar batu petir yang dipercayai orang yang " tertipu " oleh bisikan syaiton, sehingga mengorbankan akidahnya. Batu hanyalah sebuah makhluk yang tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit. Pada saat kita menggunakan benda untuk sarana ikhtiar menyembuhkan suatu penyakit
( misalnya obat,jamu atau lainnya ), camkan di dalam hati bahwa yang dapat menyembuhkan suatu penyakit adalah Kekuasaan Alloh SWT bukan berkat obat atau jamu , karena kalau kita lebih meyakini suatu benda yang "haqqul yakin" dapat menyembuhkan penyakit berarti kita terperosok dalam syirik / menduakan Alloh SWT.
Lalu bagaimanakah hukum berobat dengan mendatangi dukun atau paranormal ???

Berikut ini beberapa hadist yang berkaitan dengan hukum mendatangi dukun / paranormal

1. Barangsiapa mendatangi dukun peramal dan bertanya kepadanya tentang sesuatu (lalu mempercayainya) maka shalatnya selama empat puluh malam tidak akan diterima. (HR. Muslim)

2. Barangsiapa mendatangi dukun peramal dan percaya kepada ucapannya maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. (Abu Dawud)

3. Sesungguhnya pengobatan dengan mantra-mantra, kalung-gelang penangkal sihir dan guna-guna adalah syirik. (HR. Ibnu Majah)

4. Barangsiapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan mujur-sial maka dia telah bersyirik kepada Allah. Para sahabat bertanya, "Apakah penebusannya, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah: "Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikanMu, dan tiada kesialan kecuali yang Engkau timpakan dan tidak ada ilah (tuhan / yang disembah) kecuali Engkau." (HR. Ahmad)

5. Ramalan mujur-sial adalah syirik. (Beliau mengulanginya tiga kali) dan tiap orang pasti terlintas dalam hatinya perasaan demikian, tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:
Thair artinya burung. Ramalan tentang mujur dan sial semula dikaitkan dengan burung yaitu suara atau arah terbangnya.

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press